JAKARTA, KOMPAS.com – Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh seorang dosen dan mahasiswa hukum, Senin (24/2/2024). Gugatan diajukan oleh Setya Indra Arifin, dosen hukum Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta (Unusia), dan A. Fahrur Rozi, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kuasa Hukum Pemohon Abdul Hakim menjelaskan, gugatan uji materi ini diajukan terhadap Pasal 228A ayat (1) dan (2) dalam revisi Tatib DPR RI Nomor 1 Tahun 2025. Baca juga: Kenapa PN Jaksel Putuskan Tak Berwenang Mengadili Gugatan PDI-P Lawan Penyidik KPK? Adapun pasal tersebut memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap calon pejabat yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna.
“Pengujian ke Mahkamah Agung ini adalah pengujian legalitas, bukan norma. Artinya, apakah obyek yang diuji itu bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi atau tidak,” ujar Abdul saat kepada Kompas.com, Senin (24/2/2025).
Menurut Abdul Hakim, secara teori hukum, peraturan tata tertib DPR hanya mengikat secara internal dan tidak bisa menjangkau keluar.
Dia pun menilai revisi peraturan yang dilakukan DPR telah melakukan tindakan ultra vires, atau melampaui kewenangan dengan mengatur mekanisme evaluasi terhadap pejabat negara.
“DPR kalau ngebet, ingin punya kewenangan evaluasi tersebut harus diatur dalam undang-undang, bukan dalam Tatib. Kalau ingin ya, bukan berarti boleh,” kata Abdul Hakim.
Lebih lanjut, Abdul Hakim menekankan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) tidak memberikan mandat kepada DPR untuk melakukan evaluasi terhadap lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, dan lembaga independen.
Pasal 70 ayat (3) UU MD3 juga menyebutkan bahwa fungsi pengawasan DPR hanya terbatas pada pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.
“Jadi kewenangan evaluasi yang didalilkan berdasarkan fungsi pengawasan DPR adalah alasan yang sesat pikir dan bertentangan dengan desain fungsi pengawasan itu sendiri,” pungkas Abdul Hakim.
Diberitakan sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Revisi ini sempat menuai polemik karena DPR merasa memiliki kewenangan untuk mengevaluasi hingga memberhentikan pejabat negara melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di parlemen.
Belakangan, DPR mengklarifikasi bahwa aturan tersebut tidak memberikan kewenangan untuk mencopot pejabat yang telah dilantik. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menjelaskan, DPR hanya dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap pejabat yang sebelumnya telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di komisi terkait.
“Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot,” ujar Bob Hasan dalam rapat Baleg DPR RI, Kamis (6/2/2025).
Menurut Bob Hasan, Pasal 228A yang diselipkan dalam Perubahan Tata Tertib DPR RI hanya menegaskan soal mekanisme evaluasi terhadap pejabat yang telah disetujui dalam rapat paripurna setelah sebelumnya berstatus sebagai calon.
“Kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu,” kata Bob Hasan.
“Maka kita juga bisa memberikan satu evaluasi dan itu babnya ada. Memang itu bab evaluasi. Itu memang sudah kewenangan dalam tata tertib kita,” ujar dia.
Bob Hasan menambahkan bahwa hasil evaluasi DPR kemudian disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian, keputusan akhir terhadap pejabat yang dievaluasi tetap berada di tangan pejabat atau lembaga terkait, tergantung kewenangannya masing-masing.
“Jadi berlaku mengikat di dalam. Tetapi kemudian dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkanlah berikan rekomendasi hasil evaluasi tersebut secara mufakat kepada instansi yang berwenang,” kata Bob Hasan.
“Siapa instansi yang berwenang yang tertingginya? Ya misalkan Presiden, kalau di MA misalkan Komisi Yudisial. Jadi itu tergantung kewenangan daripada pejabat pemegang kewenangan itu sendiri,” ujar dia.

